Melirik Potensi Tsunami di Selatan Pulau Jawa

Hasil pemodelan ketinggian maksimum tsunami (Widiyantoro, dkk., 2020)

Isu mengenai akan terjadinya tsunami di Selatan Jawa akhir-akhir ini menjadi perhatian banyak orang, mulai dari peneliti, masyarakat, hingga media. Pemberitaan yang tersebar di media mengenai ilustrasi tsunami yang diberikan mengakibatkan kekhawatiran yang tinggi pada masyarakat. Untuk itu, sudah semestinya kita sebagai masyarakat untuk lebih “melek” terhadap isu yang beredar ini. Bahwasannya bencana tsunami tidak “semenyeramkan” seperti yang di ilustrasikan.

Indonesia merupakan wilayah yang dinamis sehingga menjadikannya sebagai Negara yang indah namun bersahabat dengan bencana. Produk dari dinamis nya Indonesia ini diantaranya adalah potensi gempa dan juga tsunami. Jika berbicara mengenai tsunami, maka kaitannya sangat erat dengan gempa. Potensi gempa dapat ditentukan melalu beberapa pendekatan, seperti pendekatan geologi, geodesi dan kegempaan. Pendekatan geologi akan berkaitan dengan batuan dan kemenerusan struktur. Pendekatan geodesi akan mengkaji tentang pergerakan lempeng dari suatu daerah, dan pendekatan kegempaan akan mengkaji bagaimana seismisitas dari masing-masing wilayah. Ketiga pendekatan ini harus beririsan, sehingga dapat dikatakan sebagai suatu “potensi gempa”. Pendekatan-pendekatan potensi gempa ini akan menghasilkan lokasi terjadinya gempa, seberapa besar kekuatan gempa, mekanisme gempa nya seperti apa, dan juga periodisasi atau seberapa sering gempa tersebut terjadi yang biasanya dituangkan dalam suatu peta gempa ataupun peta tsunami. 

Hasil penelitian tim peneliti ITB yang menyampaikan bahwa terdapat potensi terjadinya tsunami di Selatan Jawa dengan ketinggian yang bisa mencapai 20 m dan 12 m dengan rata-rata ketinggian 4,5 m di sepanjang pantai selatan Jawa akhir-akhir ini heboh diberitakan. Potensi bencana tsunami ini disebut sebagai “megathrust” yang merupakan bagian dari zona subduksi antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Megathrust merupakan gempa besar di atas 8 Mw yang terjadi di daerah subduksi akibat sesar naik sehingga dapat menjadi potensi tsunami.

Sebagai daerah pertemuan aktif lempeng Indo-Australi dan lempeng Eurasia, tentunya Selatan Jawa merupakan daerah yang cukup aktif mengahadapi bencana gempa dan memungkinkan untuk juga terjadi potensi tsunami. Beberapa peneliti sebelumnya sudah melakukan penelitian mengenai paleotsunami untuk membuktikan bahwa Selatan Jawa sebelumnya juga sudah pernah terdapmak tsunami. Putra, dkk. pada tahun 2015 menyampaikan hasil penelitian paleotsunami nya bahwa di Lebak, Banten diidentifikasi terdapat dua lapisan Paleotsunami yang diketahui berdasarkan keterdapatan lapisan pasir di antara lapisan gambut dan di Pangandaran dijumpai tiga lapisan Paleotsunami dengan Endapan tsunami tertua berumur 600 – 300 tahun yang lalu. Kemudian Anugrah, dkk. pada tahun 2015 mempublikasikan hasil penelitannya megenai paleotsunaim di Teleng, Pacitan dan Prigi, Trenggalek yang diidentifikasikan terjadi pada 1921 dan 1930. Hasil dari penelitian-penelitian ini menyadarkan kita bahwa daerah Selatan Jawa dahulunya memang sudah pernah terjadi bencana gempa dan tsunami sesuai jejak-jejak yang di dapatkan oleh para peneliti, hal ini wajar saja mengingat daerah ini merupakan daerah pertemuan dua lempeng yang masih terus aktif. Sehingga yang harus dilakukan adalah mempersiapkan bagaimana upaya dan sikap untuk menghadapinya.

 

Sumber:

Anugrah, S. D., dkk. 2015. A preliminary study of paleotsunami deposit along the south coast of East Java: Pacitan-Banyuwangi. National Physics Conference 2014.

Putra, P. dkk. 2015. Studi Paleotsunami di Selatan Jawa. Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi LIPI 2015.

Widiyantoro, S. dkk. 2020. Implication for Megathrust Earthquakes and Tsunamis from Seismic Gaps South of Jawa Indonesia. Scientific Report Nature Research.

Leave a Reply